Seringkali perpecahan diawali dari hal-hal kecil yang tak disadari atau dibiarkan karena dianggap remeh. Misalnya, menurunnya rasa kepedulian terhadap sesama dan rasa setia-kawan serta anarkisme dalam menghadapi perbedaan. Anarkisme di kalangan supporter sepak bola menjadi contoh konkrit. Bila ini terus terjadi, perpecahan menjadi bom waktu. Sejarah silam bangsa ini telah mengajarkan hal itu, sebagaimana tersirat dalam mitos keris Kyai Condong Campur.
Banyak versi telah mengungkap perihal keris Kyai Condong Campur. Pusaka Majapahit ini diartikan sebagai perlambang keinginan akan sebuah persatuan. Seperti diketahui, zaman Majapahit terakhir, abad 14, peradaban Hindhu di tanah Jawa mulai bergeser ke peradaban baru, Islam. Kadipaten Demak Bintoro, ketika itu berkembang pesat dan akhirnya menjadi kerajaan Islam terbesar di Jawa Tengah.
Berdirinya Kerajan Demak Bintoro ditandai candra sengakala Geni Mati Siniraman Janma, yang berarti tahun 1403 Saka atau 1478 Masehi (DR Purwadi, MHum, 34: 2005). Meski peperangan antara Demak (Islam) melawan Majapahit (Hindhu) termaktub dalam banyak versi babad dan kisah tutur, namun secara historis banyak ahli sejarah menolak kebenarannya. Sebab, tak ditemukan catatan sejarah atau prasasti yang membuktikan hal itu. Ini menunjukkan, betapa silang sengkarutnya situasi zaman itu, sehingga runtuhnya Majapahit tak bisa dipastikan penyebabnya.
Candra sengakala berbunyi: Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun 1400 Saka, bahkan dinilai bukan berarti runtuhnya Majapahit, melainkan prasasti gugurnya Brawijaya V dalam pemberontakan Girindrawardhana. Ada pun peralihan pernatan zaman dari Majapahit ke Demak Bintoro, menurut catatan sejarah China, baru terjadi pada saat kepemimpinan Adipati Unus (1518-1521 Masehi).
Kebenaran tentang pernah adanya perang Demak-Majapahit, hingga kini masih menjadi pro-kontra. Sementara dalam sejumlah babad seputar zaman itu, muncul kisah-kisah keris sakti. Antara lain, keris Kyai Condong Campur, keris Kyai Sengkelat, keris Sabuk Inten dan keris Kyai Crubuk. Ketiga keris ini sangat kawentar dalam khasanah budaya-tosan aji Nusantara, khususnya di Jawa.
Tak hanya daya kesaktian keris-keris itu yang melegenda, namun juga makna filosofi di baliknya. Makna atau nilai filosofi ini dipandang bukan sekedar hasil kajian budaya, namun juga sebagai nilai spiritual keris yang semakin mengukuhkan keampuhan tuah atau berkahnya. Tak pelak, keris-keris itu banyak diburu oleh para calon pemimpin bangsa. Terutama, keris Kyai Condong Campur.
Keris ampuh itu muncul ketika Majapahit mulai didera konflik yang bersumber dari adanya perbedaan. Saat itu, dua golongan yang memiliki perbedaan pandangan adalah golongan pejabat, pedagang atau pemilik modal. Golongan kedua adalah masyarakat bawah yang kecewa karena kondisi, seperti keterpurukan nasib dan tekanan hidup. Keadaan ini membuat perbedaan kasta yang bersumber dari ajaran Hindhu, berubah menjadi sesuatu yang juga ditentang.
Dalam keadaan seperti itu, muncullah keris berdapur Sabuk Inten, yang dipandang mewakili golongan para pejabat atau pedagang. Sabuk berarti ikat pinggang, dan Inten berarti intan atau permata. Sedangkan keris berdapur Sengkelat dipandang mewakili golongan masyarakat bawah yang kecewa terhadap situasi. Sengkelat berasal dari kata sengkel atine atau dongkol-kecewa berat.
Di antara kedua golongan itu, muncul sebuah keinginan untuk menyatukan keduanya, yang terwakili oleh keris Kyai Condong Campur. Condong artinya miring, mengarah pada suatu titik yang juga berarti keberpihakan atau keinginan. Campur berarti menjadi satu atau berpadu. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan suatu keadaan atau golongan tertentu. Konon, keris Kyai Condong Campur ini dibuat beramai-ramai oleh seratus orang Mpu. Keris ini menjadi pusaka ampuh Majapahit. Tapi anehnya, keris ini disebut berwatak jahat.
Dalam khasanah tosan aji, terdapat kisah yang menceritakan pertarungan antara keris-keris itu. Sabuk Inten yang merasa terancam eksistensinya, memerangi Condong Campur. Dalam pertikaian itu, Sabuk Inten kalah. Sedangkan keris Sengkelat yang juga merasa sangat tertekan oleh kondisi, ikut memerangi Condong Campur dan akhirnya menang. Keris Kyai Condong Campur yang kalah perang, melesat ke angkasa menjadi Lintang Kemukus dan mengancam akan kembali ke bumi setiap 500 tahun untuk membuat ontran-ontran.
Pertarungan keris-keris sakti itu dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa. Dalam babad itu, keris Kyai Condong Campur dikatakan sebagai keris jahat penebar penyakit di Majapahit. Karena itu, lintang kemukus menjadi mitos tersendiri, yang kemunculannya dipercaya sebagai pertanda datangnya pagebluk atau wabah penyakit.
Kekalahan keris Kyai Condong Campur yang dikisahkan dalam sejumlah babad, seakan justru mematahkan mitos tentang keris tersebut yang bisa menyatukan bangsa. Apa lagi, keris Kyai Condong Campur dimitoskan sebagai penebar wabah penyakit, yang ketika itu juga nyaris menewaskan Dewi Dwarawati, permaisuri Brawijaya V. Beruntung sekali ketika itu, keris Kyai Sengkelat milik Mpu Supa Mandrangi mampu mengalahkan keris Kyai Condong Campur dan melenyapkan pagebluk yang melanda seantero Majapahit. Wallahu A’lam Bis Shawab.