Keris Pusaka Nagasasra benda pusaka peninggalan Raja Majapahit. Nagasasra adalah nama salah satu dapur keris luk tiga belas dan ada pula yang luk-nya berjumlah sembilan dan sebelas, sehingga penyebutan nama dapur ini harus disertai dengan menyatakan jumlah luk-nya. Bagian gandik keris ini diukir dengan bentuk kepala naga, sedangkan badannya digambarkan dengan sisik yang halus mengikuti luk pada tengah bilah sampai ke ujung keris. Mahkota naga pada keris Nagasasra ada yang berbentuk seperti mahkota Adipati Karno, dan ada yang seperti mahkota Prabu Kresna.
Keris Pusaka Nagasasra sangat tersohor dalam budaya masyarakat di Pulau Jawa. Keris ini adalah salah satu dari dapur (bentuk) keris luk 13 yang paling terkenal. Ricikan yang lain terdapat pada keris berdapur Nagasasra adalah kruwingan, greneng, dan ripandan. Sebagian besar Nagasasra dihias dengan tinatah emas sehingga penampilannya terkesan megah, mewah, indah dan berwibawa. Selain berluk 13, ada juga keris Nagasasra yang berluk 11, 9, dan 7. Oleh karena itu maka jika kita menyebut Keris Nagasasra harus disertai keterangan jumlah luknya.
Pada sebagian keris Nagasasra terdapat bola kecil (atau lebih pas disebut butiran-red) yang terbuat dari emas atau berlian yang terletak pada moncong mulut naga dan menutup mulut naga. Butiran ini untuk meredam sifat galak dan panas tuah keris. Biasanya, butiran emas atau berlian yang menutup mulut naga tersebut dilepas jika situasi sedang gawat misalnya terjadi rusuh atau peperangan.
Alkisah menurut legenda, keris Nagasasra luk 13 tinatah emas dibuat pada zaman Majapahit masa pemerintahan Prabu Brawijaya IV (1466-1478). Pembuatnya adalah Empu Supo Mandrangi. Konon keberadaan Keris Nagasasra tersebut hingga kini masih diliputi misteri. Ada yang percaya disimpan di Keraton Yogyakarta Hadiningrat, sementara versi lain menyebutkan, keris Nagasasra adalah pusaka kerajaan Majapahit. Keris tersebut hingga kini tetap terpelihara denga baik oleh para ahli warisnya secara turun temurun.
Pada keris dapur Nagasasra yang baik, sebagian besar bilahnya diberi kinatah emas, dan pembuatan kinatah emas semacam ini tidak disusulkan setelah wilah ini selesai, tetapi telah dirancang oleh sang empu sejak awal pembuatannya. Pada tahap penyelesaian akhir, sang empu sudah membuat bentuk kinatah ( yang benar adalah tinatah = kata 'tatah' yang artinya dalam bahasa Indonesia = pahat,dengan sisipan in, menjadi tinatah )sesuai rancangannya . Bagian-bagian yang kelak akan dipasang emas diberi alur khusus untuk "tempat pemasangan kedudukan emas" dan setelah penyelesaian wilah selesai, maka dilanjutkan dengan penempelan emas oleh pande emas.
Salah satu keris Nagasasra terbaik adalah karya empu Ki Supo Anom. Ki Supo Anom adalah Satu-satunya empu yang terkenal yang hidup pada masa akhir kerajaan Majapahit sampai pada masa pemerintahan Sri Sultan Agung Anyokrokusumo di Mataram. Namun beberapa ahli lain mengatakan bahwa Ki Supo Anom pada zaman kerajaan Mataram sebenarnya adalah cucu dari empu Ki Supo Anom yang hidup pada zaman Majapahit, dan golongan ini menyebut dengan sebutan Ki Supo Anom II, dan yang hidup di zaman Majapahit disebut Ki Supo Anom I.
Kresno Wibowo, 47 tahun, pria asal Malang yang kini tinggal di daerah Kanigor, Blitar Jawa Timur adalah salah satu Orang yang memiliki keris Nagasasra. Ia menceritakan bahwa keris Nagasasra yang dimilikinya saat ini adalah peninggalan dari ayahandanya yaitu Kyai Agung Toha Basuki (almarhum) alias Mbah Suryawijaya yang wafat pada tahun 1995.
“pada tahun 1986 keris ini memang pernah dipakai untuk bertarung melawan kawanan maling sakti yang membikin onar di kampung saya, di Malang. Kawanan itu beraksi di malam hari, bisa masuk dan keluar rumah meskipun rumah tertutup rapat asal ada sinar. kawanan maling itu tidak mencuri harta benda tetapi hanya menghabiskan makanan yang ada di meja makan serta buang air besar di piring yang ada di meja makan”. Kata Kresno kepada infomistik, Kamis 24/01/2013 saat ditemui di kediamannya.
“Saat malam tiba, kira-kira jam 10 malam, ayah saya menyuruh saya yang membawa keris ini sedang ayah saya membawa pedang kesayangannya, lalu kami berkeliling kampung untuk mencari kawanan itu. Malam pertama dan kedua kami tidak menemukan mereka, tetapi pada malam ketiga kami menemukan mereka tepatnya kira-kira jam 12 tengah malam. Mereka berempat dan menggunakan tutup muka serta masing-masing mereka membawa pedang. Mereka tahu kalau mereka sedang kami hadang”. Lanjut Kresno.
“Mereka beterteriak menantang kami ‘mari bertarung, kalao memangan ada orang Mergosono yang bisa mengalahkan aku, aku tidak akan kembali merusuhi kampung ini ‘. Lalu kami bertarung, dua lawan empat. Keris ini berhasil memutus telinga kanan salah satu anggota kawanan, sedang pedang ayah saya berhasil memutus kaki kanan salah satu anggota kawanan itu. Setelah dua anggota kawanan tersebut terluka akhirnya mereka melarikan diri dengan mencebur sungai, lalu hilang. Kami tidak mengejar karena kami tahu mereka sudah kalah dan kami yakin mereka tidak akan kembali. Dan hingga kini mereka memang tak pernah kembali” kata Kresno.