Tombak sakti inilah yang kelak diturunkan kepada Ki Ageng Enis dan sampai kepada Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya. Di masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang, terjadilah upaya kraman, perebutan hak waris atas tahta Demak, yang dilakukan oleh Arya Jipang atau dikenal pula sebagai Arya Penangsang. Dalam suatu peperangan yang sangat sengit akhirnya tombak Kyai Plered berhasil disarangkan ke perut Arya Jipang hingga mbrodhol, terurai ususnya. Dan pemberontakan pun berhasil dipadamkan.
Kokon, saat Arya Penangsang yang telah menguasai Demak semakin bengis. Ia berniat membinasakan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Untuk itu, ia mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang. Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh kembali ke Jipang.
Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah tersebut membuat Arya Penangsang sangat marah. Ia pun memutuskan untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut menganggap Arya Penangsang telah memberontak terhadap Pajang. Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara. Barang siapa mampu membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.
Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara tersebut. Ki Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan perang karena hanya tombak itulah yang mampu melukai Arya Penangsang.
Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun menyetujuinya.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya berangkat menuju daerah Jipang. Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Sutawijaya berdiri di samping seekor kuda betina putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian bunga melati.
Di tepi sungai, tampak pekatik (pemelihara kuda) sedang mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki Juru Martani menangkap pekatik itu lalu melukai telinganya dan mengalunginya surat tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang. Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya Penangsang.
Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang marah, ia segera mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya, Kyai Setan Kober dan menunggang kuda andalannya, Kyai Gagak Rimang.
Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat Sutawijaya sedang menunggang kuda putih di seberang sungai, yang sudah siap dengan tombak pusakanya, Tombak Kyai Plered.
Melihat kedatangan Arya Penangsang, Sutawijaya berteriak “Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”
Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara anak kecil yang menantangnya itu. Segera ia menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang menyeberang sungai untuk menghampiri Sutawijaya. Senang hati Sutawijaya melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi peperangan Sungai Bengawan Solo, yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan kalah.
Sutawijaya segera menghela kuda putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadapan dengan Arya Penangsang, Sutawijaya memutar arah kudanya sehingga membelakangi kuda Arya Penangsang. Gagak Rimang pun tiba-tiba bertingkah aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke atas.
Melihat Arya Penangsang sibuk mengendalikan kudanya, Sutawijaya menusukkan tombak pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga robek hingga sebagian ususnya terburai. Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka keris pusakanya, Kyai Setan Kober. Setelah itu, ia mengejar Sutawijaya dan berhasil meraih tubuh Sutawijaya dan membantingnya hingga tak berdaya. Arya Penangsang lalu menginjak dada Sutawijaya.
Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang.“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.
Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.